khazanah islam:Pondok Pesantren Tremas, Garba Ulama Modern
Nama pondok
pesantren Tremas mencuat karena terkait dengan tempat kelahiran Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Desa Tremas yang terletak di Pacitan,
Jawa Timur, tiba-tiba menjadi pusat bidikan kamera wartawan. Namun, jauh
sebelum SBY menjadi presiden, pesantren legendaris ini sudah dikenal
sebagai kawah candradimuka para ulama Nusantara.
Tremas adalah nama yang cukup populer
di dunia pesantren. Dari sini, muncul banyak ulama yang kemudian memberi
warna pada pendidikan dan pemikiran umat Islam di Indonesia. Pondok
pesantren Tremas adalah pesantren perjuangan yang berjasa besar bagi
perjuangan kemerdekaan RI.
Pesantren Tremas berdiri pada tahun 1830. Ia dikenal sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia. Hingga kini, ketika usianya menjelang dua abad, pesantren Tremas makin berkembang. Nyaris seluruh bangunannya dibuat dengan dinding bertulang baja. Namun, meski hampir seluruh bangunannya mengalami perubahan, tradisi belajar yang digunakan tetap dipertahankan. Ciri salafi—pengajian weton atau bandongan (sistem kelas) dan sorogan (sistem tatap muka), bahtsul masail (diskusi), takhasus (kelas khusus)—masih dipertahankan. Ditambah lagi dengan masuknya sistem baru, yaitu sistem klasikal, untuk Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah.
Pada periode ketiga masa perkembangannya (1894-1934), pesantren Tremas banyak menghasilkan ulama besar. Sebut saja Kyai Ma’sum Lasem, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Kholiq Hasyim Tebuireng, Kyai Muslih Mranggen Demak, Kyai Siroj Solo, Kyai Umar Mangkuyudan Solo, Kyai Machrus Ali Lirboyo Kediri, serta Kyai Munawwir dan Kyai Ali Ma’sum Krapyak Yogyakarta. Sedangkan pada periode kedua (1862-1894), pesantren Tremas berhasil melahirkan seorang ulama fenomenal, Syaikh Mahfuzh Altarmasi (wafat 1338 H), ulama Jawi yang mengajar di Masjidil Haram dan menulis puluhan kitab kuning, di antaranya Manhaj Dzawinnadhor fi Syarhi Alfiyah (karya syarah atau penjelasan atas karya musthalah hadits, cabang ilmu hadits, Imam Suyuthi) dan Mauhibbah dzil Fadhal ‘ala Syarhil Muqaddimati Bafadhal (sebuah karya syarah atas karya Syaikh Bafadhal).
Pada awal pendidikannya, santri harus mengikuti proses nahun, yaitu berjanji akan tinggal di pondok selama tiga tahun, tiga bulan, tiga hari. Tujuannya, agar santri berkonsentrasi pada ta’allum (belajar). Kebiasaan ini menjadi tradisi di pesantren Tremas yang harus dilalui seorang santri baru. Tradisi yang lain adalah ziarah kuburan para pendiri pesantren, serta makan bersama pada tanggal 1 Syura dengan menu “sambal terong ala santri”.
Santri dapat belajar di perpustakaan, mereka juga harus tazayyun (menjaga kebersihan lingkungan). Selain kegiatan belajar, ada banyak kegiatan lain yang bisa diikuti santri, seperti peringatan hari besar Islam, Pramuka, Fata al-Muhtadhar (organisasi kepemudaan), sanggar seni, olahraga, seni baca, dan hapalan al-Qur’an, serta mukhadarah (latihan pidato melantunkan shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Di sini juga terdapat kegiatan khusus seperti nastamir (membaca al-Qur’an di masjid dipandu seorang santri senior), bahtsul masa’il, pengajian weton, dan sorogan. Santri juga dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya dalam bidang jurnalistik, olahraga, kesenian, dan lainnya.
Untuk keperluan makan, pesantren menyediakan langganan makan atau masak sendiri. Namun, santri diberi kebebasan bila memang ingin majeg (berlangganan makan) di warung sekitar pesantren. Di samping itu, di sekitar pesantren juga banyak berdiri toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk menuju pesantren Tremas tidaklah sulit. Jaraknya hanya 135 km dari Solo atau 70 km dari Ponorogo. Dari Terminal Pacitan, tinggal menempuh jarak 11 km lagi, yang bisa ditempuh dengan kendaraan minibus sampai depan Kantor Sekretariat PP Tremas di Jalan Patrem No. 21.
Pesantren Tremas berdiri pada tahun 1830. Ia dikenal sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia. Hingga kini, ketika usianya menjelang dua abad, pesantren Tremas makin berkembang. Nyaris seluruh bangunannya dibuat dengan dinding bertulang baja. Namun, meski hampir seluruh bangunannya mengalami perubahan, tradisi belajar yang digunakan tetap dipertahankan. Ciri salafi—pengajian weton atau bandongan (sistem kelas) dan sorogan (sistem tatap muka), bahtsul masail (diskusi), takhasus (kelas khusus)—masih dipertahankan. Ditambah lagi dengan masuknya sistem baru, yaitu sistem klasikal, untuk Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah.
Pada periode ketiga masa perkembangannya (1894-1934), pesantren Tremas banyak menghasilkan ulama besar. Sebut saja Kyai Ma’sum Lasem, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Kholiq Hasyim Tebuireng, Kyai Muslih Mranggen Demak, Kyai Siroj Solo, Kyai Umar Mangkuyudan Solo, Kyai Machrus Ali Lirboyo Kediri, serta Kyai Munawwir dan Kyai Ali Ma’sum Krapyak Yogyakarta. Sedangkan pada periode kedua (1862-1894), pesantren Tremas berhasil melahirkan seorang ulama fenomenal, Syaikh Mahfuzh Altarmasi (wafat 1338 H), ulama Jawi yang mengajar di Masjidil Haram dan menulis puluhan kitab kuning, di antaranya Manhaj Dzawinnadhor fi Syarhi Alfiyah (karya syarah atau penjelasan atas karya musthalah hadits, cabang ilmu hadits, Imam Suyuthi) dan Mauhibbah dzil Fadhal ‘ala Syarhil Muqaddimati Bafadhal (sebuah karya syarah atas karya Syaikh Bafadhal).
Pada awal pendidikannya, santri harus mengikuti proses nahun, yaitu berjanji akan tinggal di pondok selama tiga tahun, tiga bulan, tiga hari. Tujuannya, agar santri berkonsentrasi pada ta’allum (belajar). Kebiasaan ini menjadi tradisi di pesantren Tremas yang harus dilalui seorang santri baru. Tradisi yang lain adalah ziarah kuburan para pendiri pesantren, serta makan bersama pada tanggal 1 Syura dengan menu “sambal terong ala santri”.
Santri dapat belajar di perpustakaan, mereka juga harus tazayyun (menjaga kebersihan lingkungan). Selain kegiatan belajar, ada banyak kegiatan lain yang bisa diikuti santri, seperti peringatan hari besar Islam, Pramuka, Fata al-Muhtadhar (organisasi kepemudaan), sanggar seni, olahraga, seni baca, dan hapalan al-Qur’an, serta mukhadarah (latihan pidato melantunkan shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Di sini juga terdapat kegiatan khusus seperti nastamir (membaca al-Qur’an di masjid dipandu seorang santri senior), bahtsul masa’il, pengajian weton, dan sorogan. Santri juga dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya dalam bidang jurnalistik, olahraga, kesenian, dan lainnya.
Untuk keperluan makan, pesantren menyediakan langganan makan atau masak sendiri. Namun, santri diberi kebebasan bila memang ingin majeg (berlangganan makan) di warung sekitar pesantren. Di samping itu, di sekitar pesantren juga banyak berdiri toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk menuju pesantren Tremas tidaklah sulit. Jaraknya hanya 135 km dari Solo atau 70 km dari Ponorogo. Dari Terminal Pacitan, tinggal menempuh jarak 11 km lagi, yang bisa ditempuh dengan kendaraan minibus sampai depan Kantor Sekretariat PP Tremas di Jalan Patrem No. 21.
Komentar
Posting Komentar