KISAH:Profil KH. Saifuddin Zuhri, Mantan Menteri Agama RI Pertama
Melalui
karya-karyanya, KH Saifuddin Zuhri telah meninggalkan jejak bagi
penerusnya yang dia harapkan juga akan mempertahankan dan mengembangkan
tradisi itu. Di zaman modern, tak banyak ulama yang produktif menulis,
baik berupa karya ilmiah keagamaan, fiksi, apalagi rekam peristiwa.
Di antara yang langka, ulama yang satu
ini adalah salah satunya. Karya-karyanya yang kebanyakan merekam geliat
Nahdhatul Ulama dan rakyat Indonesia lainnya dalam menyongsong dan
mempertahankan kemerdekaan, memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi
khazanah pustaka Tanah Air.
Selain produktif menulis, ulama yang pernah menjadi menteri agama itu juga dikenal sebagai sosok yang sederhana, jujur, dan sangat mencintai rakyatnya, terutama warga nahdiyyin. Pada akhir tahun 1980-an, mantan menteri agama itu setiap hari berjualan beras di Pasar Glodok untuk menghidupi keluarganya. Bukan karena miskin, tapi ia ingin keluarganya makan dari uang hasil jerih payahnya sendiri, bukan dari uang pensiun yang bersumber dari kas negara.
Konon, uang pensiun itu tidak disentuhnya, melainkan dikumpulkan untuk kemudian dibelikan rumah di Jalan Hang Tuah 1/6, Kebayoran Baru. Rumah itu tidak ditempati, tapi dijadikan Rumah Bersalin Muslimat NU. Hasil usaha dagang beras itulah yang digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Banyak kisah menarik seputar kehidupan KH Saifuddin Zuhri yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI pada masa Presiden Soekarno ini. Ulama kelahiran Banyumas, 1 Oktober 1919 ini, perjalanan hidupnya terekam apik dalam dua otobiografinya: Guruku Orang Pesantren dan Berangkat dari Pesantren.
Kyai Saifuddin Zuhri memang tokoh yang sangat unik. Ia adalah anak desa Sokaraja yang seluruh hidupnya diabdikan untuk bangsa dan agama. Saifuddin remaja adalah seorang reporter yang rajin menulis untuk berbagai media di Tanah Air, seperti Pemandangan dan Darmokondo. Tulisan-tulisannya tersebut ternyata menarik perhatian KH. A. Wahid Hasyim, tokoh muda NU, putra KH. Hasyim Asy’ari. Digandeng Gus Wahid, Saifuddin pun berkenalan dengan dunia politik perjuangan.
Ketika Belanda melakukan agresi militer II, Saifuddin yang menjabat konsul NU wilayah Karesidenan Kedu dan tokoh Hizbullah, ikut keluar-masuk hutan untuk bergerilya. Di tengah perjalanan gerilya itu, ia diangkat oleh Menteri Agama RI saat itu, KH. Masykur, menjadi pejabat Kantor Djawatan Agama Provinsi Jawa Tengah, yang bertugas melakukan konsolidasi dengan kantor agama kabupaten-kabupaten se-Jawa Tengah.
Selain produktif menulis, ulama yang pernah menjadi menteri agama itu juga dikenal sebagai sosok yang sederhana, jujur, dan sangat mencintai rakyatnya, terutama warga nahdiyyin. Pada akhir tahun 1980-an, mantan menteri agama itu setiap hari berjualan beras di Pasar Glodok untuk menghidupi keluarganya. Bukan karena miskin, tapi ia ingin keluarganya makan dari uang hasil jerih payahnya sendiri, bukan dari uang pensiun yang bersumber dari kas negara.
Konon, uang pensiun itu tidak disentuhnya, melainkan dikumpulkan untuk kemudian dibelikan rumah di Jalan Hang Tuah 1/6, Kebayoran Baru. Rumah itu tidak ditempati, tapi dijadikan Rumah Bersalin Muslimat NU. Hasil usaha dagang beras itulah yang digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Banyak kisah menarik seputar kehidupan KH Saifuddin Zuhri yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI pada masa Presiden Soekarno ini. Ulama kelahiran Banyumas, 1 Oktober 1919 ini, perjalanan hidupnya terekam apik dalam dua otobiografinya: Guruku Orang Pesantren dan Berangkat dari Pesantren.
Kyai Saifuddin Zuhri memang tokoh yang sangat unik. Ia adalah anak desa Sokaraja yang seluruh hidupnya diabdikan untuk bangsa dan agama. Saifuddin remaja adalah seorang reporter yang rajin menulis untuk berbagai media di Tanah Air, seperti Pemandangan dan Darmokondo. Tulisan-tulisannya tersebut ternyata menarik perhatian KH. A. Wahid Hasyim, tokoh muda NU, putra KH. Hasyim Asy’ari. Digandeng Gus Wahid, Saifuddin pun berkenalan dengan dunia politik perjuangan.
Ketika Belanda melakukan agresi militer II, Saifuddin yang menjabat konsul NU wilayah Karesidenan Kedu dan tokoh Hizbullah, ikut keluar-masuk hutan untuk bergerilya. Di tengah perjalanan gerilya itu, ia diangkat oleh Menteri Agama RI saat itu, KH. Masykur, menjadi pejabat Kantor Djawatan Agama Provinsi Jawa Tengah, yang bertugas melakukan konsolidasi dengan kantor agama kabupaten-kabupaten se-Jawa Tengah.
Komentar
Posting Komentar